Tak Datang Maka Tak Sayang
T
Sebuah
catatan perjalanan
Oleh:
Rafika Surya Bono
"Kak, Jangan lupa
bawa rok! Jangan boncengan sama cowok! Nanti kakak ditangkap polisi Aceh!"
Begitulah kalimat-kalimat
yang saya dapatkan sesaat sebelum berangkat ke daerah paling barat Indonesia,
Nanggro Aceh Darussalam.
Pagi itu, langit Kota Padang
amat cerah. Awan-awan suci menggelayut di bawah langit biru. Saya menghirup
udara 'kebebasan' diiringi tarian pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan.
Diantar oleh seorang abang menggunakan sepeda motor dari kosan ke Bandara
International Minangkabau, saya tak bisa menghentikan bibir tuk menyunggingkan
senyuman. Senyum yang tak lelah melahirkan lesung pipi saking menikmati dan
mensyukuri setiap jengkal perjalanan.
Sampai di bandara saya
sudah ditunggu oleh seorang rekan bernama Arif yang juga akan melakukan perjalanan
ini. Tak lupa kami menyempatkan foto bertiga. Saya dan Arif langsung melakukan
serangkaian proses chek in dan boarding pass pesawat. Hari menunjukkan
pukul 10.45. Kami langusung diarahkan naik pesawat dengan lambang berwarna oren
itu. Pukul 11.00, pesawatpun ‘melawan’ udara dengan gagah.
Di atas pesawat, saya
masih tak bisa berhenti tersenyum. Segala puji dan syukur saya tumpahkan untuk
Sang Pencipta. Untuk sebuah perjalanan yang sudah lama saya dambakan.
Duduk di tepi, saya tak
mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menghayati setiap pertambahan ketinggian
pesawat. Pohon-pohon kelapa tampak sebesar semut. Potongan-potongan petak sawah
yang tertata rapi. Hingga yang terlihat hanya awan. Dan saya sedang berada di
atas awan.
"Selamat datang di
Kuala Namu International Airport," kurang lebih begitu suara dari pilot
yang saya tangkap sesaat setelah pesawat menyentuh landasan terbang di Bandara Kuala
Namu Medan. Ya. Setelah satu jam di atas pesawat, kami harus transit di Kuala
Namu selama 2,5 jam terlebih dahulu. Saya pun langsung mengelilingi bandara
yang sangat besar itu.
Setelah
lelah berkeliling, jam menunjukkan pukul 14.00 WIB. Saya pun kembali ke ruang
tunggu. Ruangan itu ramai, dan orang-orang tekun dengan gadget di tangan masing-masing. Sedang saya memerhatikan tiap
kepala tanpa henti, tak berarti.
Setelah
30 menit menunggu, saya pun kembali naik pesawat yang akan mengantarkan saya ke
Tanah Rencong. Kembali duduk di dekat jendela, kali ini saya memilih berbincang
dengan ibu-ibu paruh baya di samping saya. Ia kelahiran Banda Aceh yang sudah
lama merantau di Ibukota. “Jadi, kalau di Aceh itu, perempuan tidak harus pakai
rok ya, Bu,” itu pertanyaan pertama yang saya lontarkan. Bukan apa-apa, tapi
karena saya sangat penasaran dengan Aceh dan ingin membuktikan cerita-cerita
menakutkan yang saya dengar dari orang-orang tentang Aceh.
“Enggak. Di Aceh tidak harus pakai rok.
Yang penting tidak ketat dan masih sewajarnya. Sama dengan kota-kota lain, Aceh
tidak se-menakutkan yang orang-orang bilang,” begitu ibu itu menjawab
pertanyaan saya sambil menyuggingkan senyumnya. Kami pun melanjutkan percakapan
tentang Kota Sabang, Pulau Weh, dan tempat destinasi wisata yang ada di Bumi
Serambi Mekkah tersebut.
Hantaman
roda pesawat ke landasan terbang Bandara Iskandar Muda Banda Aceh menandai percakapan
kami harus segera usai. “Nikmati hari-harinya di Aceh ya. Aceh itu bakal ngangenin. Tak datang maka tak kan
sayang,” itulah kalimat pamungkas yang disampaikannya kepada saya. Matanya seolah
juga ikut memberikan salam perpisahan.
Setelah
mengambil barang-barang di bagasi, saya pun harus menungu jemputan sekitar
30menit. Saya dijemput oleh Panitia Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut
Nasional (PJTLN) DETak Universitas Syah Kuala (Unsyiah) bernama Ana dengan
sepeda motornya. Ya. Saya akan mengikuti PJTLN DETaK Unsyiah selama seminggu. Karena
Ana menggunakan rok, saya menawarkan diri untuk saya saja yang mengendarai motor
tersebut. Setelah bernegosiasi, Ana pun menyepakati dengan syarat saya harus
pean-pelan. Jadilah saya mengendarai motor dengan kecepatan 40km/jam saja.
Dari
bandara, butuh waktu 30menit untuk sampai di Unsyiah. Saya mengendarai motor
dengan menoleh ke kiri dan ke nanan. Masih setengah tidak percaya bahwa saya
sudah menginjakkan kaki di Ujung Barat Indonesia. Ana pun dengan telaten
memberi saya arah saat ada persimpangan. Tak lupa ia juga seperti guide dengan memberi tahu nama-nama
jalan dan gedung-gedung yang kami lewati.
Di
sepanjang perjalanan, saya juga melihat perempuan yang tidak pakai jilbab.
Perempuan pakai celana, dan muda-mudi boncengan di atas motor. “Kalian sok
tahu. Aceh tidak semenyeramkan yang kalian bilang,” itu kalimat yang ada di
pikiran saya untuk teman-teman yang menakut-nakuti saya sebelum keberangkatan
ke Aceh.
Hari
pertama di Aceh membuat saya bergumam di dalam hati. “Aceh ini indah. Orang-orangnya ramah dengan
logatnya yang khas. Bila orang bilang “tak kenal maka tak sayang” maka saya meng-amin-kan
kalimat ibu paruh baya di atas pesawat tadi. “tak datang maka tak kan sayang
Aceh”.
Will be continue...