Tak Datang Maka Tak Sayang

08.40 0 Comments

T
Sebuah catatan perjalanan
Oleh: Rafika Surya Bono

"Kak, Jangan lupa bawa rok! Jangan boncengan sama cowok! Nanti kakak ditangkap polisi Aceh!"
Begitulah kalimat-kalimat yang saya dapatkan sesaat sebelum berangkat ke daerah paling barat Indonesia, Nanggro Aceh Darussalam.

Pagi itu, langit Kota Padang amat cerah. Awan-awan suci menggelayut di bawah langit biru. Saya menghirup udara 'kebebasan' diiringi tarian pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan. Diantar oleh seorang abang menggunakan sepeda motor dari kosan ke Bandara International Minangkabau, saya tak bisa menghentikan bibir tuk menyunggingkan senyuman. Senyum yang tak lelah melahirkan lesung pipi saking menikmati dan mensyukuri setiap jengkal perjalanan.

Sampai di bandara saya sudah ditunggu oleh seorang rekan bernama Arif yang juga akan melakukan perjalanan ini. Tak lupa kami menyempatkan foto bertiga. Saya dan Arif langsung melakukan serangkaian proses chek in dan boarding pass pesawat. Hari menunjukkan pukul 10.45. Kami langusung diarahkan naik pesawat dengan lambang berwarna oren itu. Pukul 11.00, pesawatpun ‘melawan’ udara dengan gagah.

Di atas pesawat, saya masih tak bisa berhenti tersenyum. Segala puji dan syukur saya tumpahkan untuk Sang Pencipta. Untuk sebuah perjalanan yang sudah lama saya dambakan.
Duduk di tepi, saya tak mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menghayati setiap pertambahan ketinggian pesawat. Pohon-pohon kelapa tampak sebesar semut. Potongan-potongan petak sawah yang tertata rapi. Hingga yang terlihat hanya awan. Dan saya sedang berada di atas awan.

"Selamat datang di Kuala Namu International Airport," kurang lebih begitu suara dari pilot yang saya tangkap sesaat setelah pesawat menyentuh landasan terbang di Bandara Kuala Namu Medan. Ya. Setelah satu jam di atas pesawat, kami harus transit di Kuala Namu selama 2,5 jam terlebih dahulu. Saya pun langsung mengelilingi bandara yang sangat besar itu.

Setelah lelah berkeliling, jam menunjukkan pukul 14.00 WIB. Saya pun kembali ke ruang tunggu. Ruangan itu ramai, dan orang-orang tekun dengan gadget di tangan masing-masing. Sedang saya memerhatikan tiap kepala tanpa henti, tak berarti.

Setelah 30 menit menunggu, saya pun kembali naik pesawat yang akan mengantarkan saya ke Tanah Rencong. Kembali duduk di dekat jendela, kali ini saya memilih berbincang dengan ibu-ibu paruh baya di samping saya. Ia kelahiran Banda Aceh yang sudah lama merantau di Ibukota. “Jadi, kalau di Aceh itu, perempuan tidak harus pakai rok ya, Bu,” itu pertanyaan pertama yang saya lontarkan. Bukan apa-apa, tapi karena saya sangat penasaran dengan Aceh dan ingin membuktikan cerita-cerita menakutkan yang saya dengar dari orang-orang tentang Aceh.

Enggak. Di Aceh tidak harus pakai rok. Yang penting tidak ketat dan masih sewajarnya. Sama dengan kota-kota lain, Aceh tidak se-menakutkan yang orang-orang bilang,” begitu ibu itu menjawab pertanyaan saya sambil menyuggingkan senyumnya. Kami pun melanjutkan percakapan tentang Kota Sabang, Pulau Weh, dan tempat destinasi wisata yang ada di Bumi Serambi Mekkah tersebut.

Hantaman roda pesawat ke landasan terbang Bandara Iskandar Muda Banda Aceh menandai percakapan kami harus segera usai. “Nikmati hari-harinya di Aceh ya. Aceh itu bakal ngangenin. Tak datang maka tak kan sayang,” itulah kalimat pamungkas yang disampaikannya kepada saya. Matanya seolah juga ikut memberikan salam perpisahan.

Setelah mengambil barang-barang di bagasi, saya pun harus menungu jemputan sekitar 30menit. Saya dijemput oleh Panitia Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) DETak Universitas Syah Kuala (Unsyiah) bernama Ana dengan sepeda motornya. Ya. Saya akan mengikuti PJTLN DETaK Unsyiah selama seminggu. Karena Ana menggunakan rok, saya menawarkan diri untuk saya saja yang mengendarai motor tersebut. Setelah bernegosiasi, Ana pun menyepakati dengan syarat saya harus pean-pelan. Jadilah saya mengendarai motor dengan kecepatan 40km/jam saja.

Dari bandara, butuh waktu 30menit untuk sampai di Unsyiah. Saya mengendarai motor dengan menoleh ke kiri dan ke nanan. Masih setengah tidak percaya bahwa saya sudah menginjakkan kaki di Ujung Barat Indonesia. Ana pun dengan telaten memberi saya arah saat ada persimpangan. Tak lupa ia juga seperti guide dengan memberi tahu nama-nama jalan dan gedung-gedung yang kami lewati.
Di sepanjang perjalanan, saya juga melihat perempuan yang tidak pakai jilbab. Perempuan pakai celana, dan muda-mudi boncengan di atas motor. “Kalian sok tahu. Aceh tidak semenyeramkan yang kalian bilang,” itu kalimat yang ada di pikiran saya untuk teman-teman yang menakut-nakuti saya sebelum keberangkatan ke Aceh.


Hari pertama di Aceh membuat saya bergumam di dalam hati.  “Aceh ini indah. Orang-orangnya ramah dengan logatnya yang khas. Bila orang bilang “tak kenal maka tak sayang” maka saya meng-amin-kan kalimat ibu paruh baya di atas pesawat tadi. “tak datang maka tak kan sayang Aceh”.

Will be continue...

Rafika Surya Bono

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 komentar: